Takbir adalah tanda suatu malam akan berubah menjadi siang
yang membutuhkan banyak tujuan tapi sedikitnya waktu. Gema takbir memang begitu
dinantikan tapi seringkali beriringan dengan kesedihan. Aku yang tiba-tiba
merasakan sebuah kesedihan yang entah bisa disebutkan mendalam atau tidak di
malam itu. Mungkin karena melamun membayangkan betapa berbedanya malam ini
dengan malam-malam gema takbir berkumandang ditahun-tahun sebelumnya. Meski
petasan masih beragam menghiasi frekuensi bunyi yang berburu masuk menuju
gendang telinga, serta kembang Api yang masih menjadi penghias langit malam di
kampungku yang super gelap ini, tetap ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang
tidak lagi kurasakan di usia ku yang kemarin baru beranjak 21 tahun.
Pertama, tidak adanya teman masa kecilku pulang kampung dari
Jakarta (Akhirnya lu kesebut lumayan berarti dalam hidup gue, Yon). Kedua,
anak-anak disini tidak ada yang seumuran denganku. Ketiga, usia mereka masih
dibawahku, dimana usia tersebut kupikir adalah usia yang harusnya ‘menikmati’
malam takbiran dengan riang. Memang, masalah akhirnya kusimpulkan karena gadget. Tapi gadget tidak bisa sepenuhnya kusalahkan. Ah, mungkin pergeseran
zaman. Kesimpulan akhirku dimalam takbiran ini aku sedih. Aku memutuskan untuk
tidur, karena kalau ku teruskan untuk terjaga khawatirku kesedihan ini akan
menjalar ke momen-momen yang lebih tidak kuinginkan dan akan berdampak ke
kesedihan terdalam (galau).
Hari raya pun menghampiri setelah ku tertidur dan ku mulai dengan
tegukan kopi pertama setelah satu bulan. Kopi yang spesial dari seorang teman
yang jauhnya saat ini 126,75 mil dari Surade. Skip langsung pada tradisi setelah
momen sungkem ku pada abah, ummi, dan mamah yang kuakhiri dengan kecupan manis
di kedua pipi dan kening mereka. Dengan senyuman dan harapan, mi, bah, mah. Aku
masih butuh Tehaer.
Kemudian lanjutan tradisi berkeliling rumah. Karena memang
dikampungku, rumahku hanya memiliki enam rumah tetangga (info untuk calonku
nih) jadi untuk berkeliling tidaklah susah. Tetanggaku tidaklah banyak, tapi
anggota keluarga mereka yang disebabkan tradisi pulang kampung empat kali lipat
jumlahnya. Jadi jika satu keluarga hanya berisi 2 orang saja, saat itu
bertambah jadi 4 kali lipat kemudian kali 6.
Setiap orang yang kutemui meski tidak ada interaksi
sebelumya karena tradisi, tetap wajib aku sungkem pada mereka dengan harapan
yang tetap sama. Tehaer? Tidak, semoga di maafkan. Tehaer mah bonus. Dari hasil
sungkem itu aku menerima 12 pertanyaan dengan tujuan “Jadi kapan wisuda?”
dengan beragam kreasi pertanyaan berbeda. Itu terjadi hanya setelah sholat Id
sampai sekitar pukul delapan. Sementara tujuanku di hari itu tidaklah sedikit.
Berhubung abah sedikit tidak enak badan (semoga cepat
sembuh) jadi hari itu tujuan kami yang sebelumnya terencana sampai sekitar pukul
3 sore tidak terlaksana. Abah memutuskan mari tinggal di rumah saja, dan
menunggu keluarga anak-anak mamah lain yang dipastikan selalu sungkem ke rumah.
(Fast-fast) dari 3 keluarga besar mamah lainnya serta
keluarga-keluarga besar 6 tetanggaku lainnya, ku hitung di hari itu aku
mendapatkan 27 pertanyaan dengan tujuan “Kapan lulus?” yang kutanggapi sedikit
dengan senyuman dan ku aamini di “akhir tahun ini”.
Bukan sebuah masalah sih, bahkan ini sebuah pecutan untuk “ayo
Num, segera nulis TA!!”. Mereka diluar sana yang nanya, sebagian besar hanya
ingin tau hasil elu. Gak ada yang benar-benar perhatiin proses elu, bahkan ummi
abah saja yang biayain elu gak terlalu mau tau elu nugas ampe jam dua pagi tiap
hari. Mereka Cuma pengen tau hasil yang elu dapet. Itu mungkin sebagian besar
sisi egois dari diri ku.
Sisi baiknya, gak ada. Eh, engga deng pasti selalu ada.
Karena setiap mereka yang bertanya “kapan lulus?” Tatapan ummi mengarah padaku
dan kuakhiri dengan senyuman dan membuang tatapanku. Belum bisa kuprediksi
memang, tapi harapan tahun ini muncul di pikiranku. Semoga saja dan harus.
Seperti yang ku bilang, mereka hanya ingin tahu hasil. Dan
hasil yang mereka inginkan pasti harus selalu baik. Proses? Kita yang jalankan
dan kita tentukan. Tapi tentu tidak sealu berjalan baik dan lancar.
Ujung-ujungnya ya namanya juga hidup.
Ini kisah lebaranku di tahun ini disamping ku tetap makan
opor ayam dan ketupat, tidak adanya lagi yang datang ke rumah seperti
lebaran-lebaran sebelumnya, kegalauanku tentang banyak hal dibalik pertanyaan “kapan
lulus?”.
Kenapa di post di blog? Pertama karena lama gak nulis, kedua yakali
aja orang-orang yang gak sengaja baca do’ain semoga anak ini lulus tahun ini. Aamiin.
Biar lebaran tahun depan, ganti pertanyaan “Kerja dimana?” atau bahkan “Kapan
nikah?”.
Taqobalallahu minna waminkum,
Mana cerita lebaranmu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar