ALien sereniTY

Rabu, 16 November 2016

,
www.gambar-katakata.com

Ini sebuah runtutan memori tentang penantian yang dimulai ketika aku menginjakan kaki di kota Bandung

“Mari bertemu di taman kampus depan dua patung kembar” itu hanya sebuah usikan dari kelembaman yang telah lama bersarang, kembali bergetar

Bercerita bagaimana lukisan dengan background museum pendidikan yang kala itu sudah lama sekali tapi masih belum kokoh berdiri

Aku, pendengar yang baik. Itu yang bisa kulakukan

Ada beberapa lempar tawa saat itu dibalik pantangnya kita bertatap
“Mari kita pergi ke kedutaan besar negara lain di Jakarta, aku ingin ke Australia. Oh ya, lalu mampir ke Kota Tua”, aku tersenyum dan mengangguk. Cemas.
Berlalu,

“Mari menemukan keindahan kampung halaman kita, aku tau ada jejaknya di museum Geologi”. Kita beriringan dengan selingan “Gedung yang tinggi itu bisa diukur ketinggiannya kan tanpa harus praktek. Pakai ilusi optik?” Aku kembali tersenyum serta menjelaskan sedikit teori fisika yang aku ketahui. Aku ingat kita masih sempat berfoto disana, dengan senyuman.

Sampai pada suatu titik dimana aku tidak menyukainya. Ada sepatah janji yang diucapkannya lalu tidak ditepati. Kemudian aku tau ia pergi untuk menemui siapa.

Terakhir, setelah sekian lama. “Mari bertemu dipelataran Al-Furqon, untuk yang terakhir kali” Aku yang memintanya. Tidak lebih dari lima menit, hanya menepati janjiku ketika aku bernadzar “kalau aku di UPI”. “Berikan aku semacam hadiah ya” katanya.

Aku menepatinya. Lalu pergi untuk yang terbaik, sepertinya.


Senin, 14 November 2016

,
Kehidupan memang terus berlanjut mengikuti waktu. Lemparan apel akan terus melambung hingga besar gaya lempar sama dengan besar gaya tarikan bumi, saat itulah waktu berhenti. Kemudian apel kembali menuju pusat bumi.
,
gemaroprek.com


Bandung, 14 Maret 2016

Waktu tidak akan bisa menjawab, berapa banyak ilmu yang ia berikan
Bukan seorang petualang tidak masalah
Bukan seorang cendekiawan pun tidak masalah
Tidak akan pernah habis cerita untuk ia katakan

Tidur dan terbangun lebih awal dariku dengan tugas lebih berat
Sering menyeringai memberitahuku bahwa aku mengerjakan sesuatu yang salah
Sering dan bahkan mendekati selalu aku abaikan
Namun ia tetap tersenyum ketika aku pulang hanya untuk makan

Dulu, ia selalu memegang kedua tanganku untuk menyeberang
Selalu mengarahkan tanganku untuk menengadah saat bercakap dengan Tuhan
Mengajarkanku alif, ba, ta hingga zuz ‘ama
A,B,C,D sampai tulisan bersambung

Sekarang, ia tidak lebih tinggi pendidikannya dariku
Tidak lebih banyak tahu tentang teknologi daripada aku
Tidak lebih mengerti tentang hukum-hukum fisika
Tidak lebih pandai menghitung matematika

Teruntuk ia yang selalu aku rindukan dengan imbalan
Kulitmu yang semakin keriput karena menimbang beratnya aku hidup
Aku hanya ingin hidup terus bersamamu dan terhenti di usia ini
Untuk mencintaimu, ibu
Tanpa harus aku bahagiakan