ALien sereniTY

Senin, 20 Mei 2013

Djanar

https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiWzVjZKHKkeOyOcDPHw-tZUQrw24drRE8JDs981f8URCvD7uMtT-dfESZnoWdUriOqRfaWXL1K4pLb4MUURBI0_oyMOzFDOnplOgiZp_T4tDARnMP3zzbjb_b1pYzMCIuqb5Ve-R6TSpCY/s1600/

Lamunan yang tersurut dalam batas keheningan. Membuatku terdampar di sebuah pulau yang tak berpenghuni. Semilir angin yang menimbulkan bau khas datangnya senja begitu menyejukan. Senja di hari itu begitu menimbulkan kemerahan di ufuk barat. 

Aku tengah terduduk santai lalu tiba – tiba terjaga dan memalingkan muka kearah suara-suara yang bergemuruh.
“Apa yang sedang mereka perdebatkan?”. Pikirku keheranan.
Aku bangkit lalu bergegas menghampiri menju arah kerumunan itu. Ku lihat seorang laki-laki berperawakan tinggi tengah berbicara dengan seorang laki-laki lainnya yang kuperkirakan berumur lebih tua darinya.
“Hei Dani, minta maaf sama anak ini lah! Ia cuman ingin permintaan maafmu”. Kata anak laki-laki itu.

Ku lihat juga disamping mereka ternyata ada seorang gadis kecil yang menangis dan dikelilingi beberapa anak laki – laki seumuran gadis itu yang mencoba menenangkannya.

“Aku tidak mau, itu bukan salahku”. Ucap laki-laki yang ku ketahui namanya Dani itu.
“Haaah, dasar tidak tahu malu kau Dan”. Jawab laki-laki satu nya sambil berlalu dengan menggendong gadis kecil itu.

Gerombolan anak – anak yang tengah bermain itu kemudian bubar dengan berlalunya setiap langkah dengan salah satu kelompok menuju ke arah berakhirnya senja dan kelompok Dani menjauh meninggalkan senja.

Dalam jiwa yang mati sesungguhnya masih tersimpan napas yang berarti. Napas yang memberikan arti bahwa tanggung jawab dimiliki oleh setiap insan. Tidak ada yang tahu umur manusia akan sampai pada tahap sejauh mana. Tetapi kejelasan dari tujuan hidup akan membawa seorang insan merasa bahwa dirinya harus tetap hidup, setidaknya demi kedua orang tuanya.

Masih dihari yang sama dalam balutan senja dan mentari yang memberikan hangat kemerahannya. Setelah kerumunan tadi berlalu, aku bergegas sembari berlari kecil mengambil tasku yang kutinggalkan di bawah pohon lalu mengikuti laki-laki muda yang menuju kearah habisnya senja dengan gerak – gerik ku upayakan alami seperti seorang anak perempuan yang bergegas menuju rumahnya dengan seragam sekolah. Samar – samar interferesi suara mereka ku dengar dengan seksama dan pandangan yang tertunduk kemudian celingak – celinguk lalu tertunduk lagi. Begitu seterusnya.

“Kau gak apa-apa?”. Tanya laki – laki tersebut kepada gadis kecil yang berada di punggungnya.
“Aku gak apa-apa kak, terimakasih”. Jawab gadis kecil tersebut suara terisak terdengar menahan tangis.
“Aaahhh anak pintar. Emhh bolehkah kakak mengantarmu sampai kerumah dik?”.
“Tentu saja kak”. Jawab gadis itu dengan riang.

Sesampainya di sebuah rumah yang kukira adalah rumah gadis kecil itu, laki-laki tersebut menurunkan gadis kecil itu dari gendongannya.

“Oooh ternyata ini rumahmu dik?”.
“Iya kak”. Jawab gadis itu.
“Kakak, terimakasih sudah mengantarku”.
“Iya sama-sama”. Jawab laki-laki itu.
“Kaka mau gak main sama aku tiap hari?”. Tanya gadis itu lagi.
“Wah kita bisa saja main, tapi kakak gak janji setiap hari ya. Kan kakak juga harus sekolah” Jawab laki – laki itu.
“Oh iya, nama kaka Djanar. Namamu siapa dik?”.
Oh iya kak, nama ku ……”

Tiba-tiba lewat lah sebuah motor di samping ku dengan suara knalpot nya yang sangat bising dan aku tidak bisa lagi mendengar percakapan mereka dari jarak yang cukup jauh tersebut. Kemudian gadis kecil itu masuk kedalam rumahnya, dan laki-laki itu pun pergi.

“Djanar??, nama yang tidak asing sepertinya”. Aku berkata sendiri.

Saat itu aku hendak menyusul Djanar, entah kenapa aku ingin sekali berbicara dengannya. Tapi hari sudah terlalu sore dan aku harus segera pulang kerumah.

Mentari yang datang dan berlalu selalu memberikan kehidupan. Di dalam hidup yang indah ini tidak akan ada seorang pun yang hidup tanpa masalah, terlebih dengan kewajibannya sebagai makhluk Tuhan. 

Selepas pulang sekolah aku hendak mengantarkan sebuah pesanan yang ibu titipkan padaku. Keluargaku bukanlah turunan dari keluarga ningrat. Meskipun begitu, hidupku sudah kurasakan lebih dari cukup untuk apa yang sudah aku miliki layaknya ibu, bapa, dan adiku. Selepas aku mengantarkan pesanan jahitan aku bermaksud untuk kembali kerumah, tapi tiba-tiba di sebuah gang kecil menuju rumah aku kembali berpapasan dengan Djanar, laki-laki kemarin yang aku temui dan yang ingin kutemui lagi. Aku hendak menyapanya tapi aku tidak punya alasan untuk itu, hingga akhirnya dihari itu aku hanya melewati dia dan tanpa senyuman.

Dalam keadaan kelam dan gelap yakinlah akan ada sebuah cahaya, meski itu hanya seberkas arang yang menyala dan terdispersi melalui celah. Hari selanjutnya setelah kejadian dua hari yang lalu aku masih penasaran dengan Djanar. Aku berputar pikir untuk mencari alasan bagaimana aku bisa menyapanya. Setelah pulang sekolah aku sengaja melewati kembali gang itu. Meski aku harus berjalan layaknya dua kali berputar menuju rumah. Aku sembari celingukan ketika melewati jalan itu. Tapi hasilnya ternyata Djanar tidak bisa aku temui.

Untuk sayap yang mulai lelah karena terbang, tak bisakah kau untuk beristirahat sejenak. Hingga adanya sepasang sayap-sayap lain yang mengantar menuju damai. 

Hari ini sekolah dipulangkan lebih awal. Aku bergegas pergi menuju taman, tempat yang sering aku kunjungi untuk menghabiskan waktuku yang luang. Aku terduduk kembali di bawah pohon waktu itu. Menikmati hembusan angin yang selalu sama, saat pikiranku menerawang tiba-tiba sebuah bola mainan mengenai tubuhku. Aku tersentak, lalu dari arah depan ada seseorang yang memintaku untuk mengembalikannya. Aku mengalihkan pandanganku padanya.

“Kakak, maaf ya aku tidak sengaja. Aku mau meminta bolaku kembali”.
Aku menatapnya ternyata gadis kecil waktu itu. Aku pun tersenyum tanpa berbicara lalu mengembalikan kembali bola itu.
“Terimakasih kak”. Teriak gadis itu sembari berlari.

Sambil menatapnya berlalu, aku mulai terpikir jika gadis itu ada disini berarti Djanar pun ada disini. Aku menatap sekelilingku kemudian pandanganku berhenti di satu titik. Ternyata di arah jam sebelas aku menemukan Djanar tengah bermain dengan gadis itu. Aku hendak menemui mereka, namun aku belum punya alasan untuk itu. Jadi hari itu kuputuskan untuk melihat Djanar dari kejauhan.

Satu sosok yang bisa tertawa lepas tanpa beban dalam tatapan yang penuh keriangan. Bibir yang terlukis oleh senyuman, dalam canvas akan abadi terlihat. Setelah hari kemarin, di minggu pagi ini aku sibuk dengan tugasku sebagai anak dirumah. Membersihkan rumah memang kebiasaanku dan itu sudah ibu tanamkan didalam diriku sejak aku kelas 1 SD. Masa SMP ku memang masih tercampur dengan permainan dan tontonan anak-anak. Jadi untuk hari itu setelah aku membersihkan rumah aku habiskan waktu ku untuk menonton film kartun kesukaanku.

“Kak, bisa tolong ibu sebentar?”. Ucap ibu dari ruangan depan tempat ia menjahit.
“Iya bu”. Jawabku sambil bergegas menemuinya.
“Tolong antarkan baju ini ke kampung sebelah ya. Ini alamatnya”.
“Iya bu”. Lalu aku bergegas menuju alamat yang ibu tuliskan di secarik kertas itu.

Jarak yang lumayan jauh ku tempuh. Setelah aku bertanya-tanya ke orang-orang disana akhirnya aku menemukan alamat rumah itu. Sesampainya didepan rumah dengan suasana dan bau khas kopi yang tercium, itu aku mengetuk pintunya dan mengucapkan salam. Tidak berapa lama akhirnya seseorang membukakan pintu. Tanpa disangka ternyata orang itu adalah Djanar, seseorang yang telah sejak hari kamis lalu ingin aku sapa.

“Oh, jahitan? Sebentar ya”. Dia kembali bergegas ke dalam rumahnya dan tidak berapa lama kembali lalu memberikan uang pas sejumlah harga jahitannya.
“Makasih ya”. Jawabnya sambil tersenyum dan menggerakan alis matanya lalu kembali masuk kerumah dan menutup pintu.
Belum sempat aku berkata-kata bahkan untuk menjawab ucapan terimakasihnya dan membalas senyumannya.
“Aku kenapa?”. Gerutuku.

Lengkungan indah berwarna yang menggantung. Karena apakah kau terlihat begitu berseri?.

Hari Kamis yang tampak basah karena hujan malam tadi membuat jalanan tanah didepan rumahku tampak becek. Saat aku terbangun dari istirahatku yang panjang, tanpa sengaja aku menggumamkan nama Djanar dan tersenyum. Setelah bersiap aku lalu berangkat kesekolah di hari itu. Sepulang dari sekolah aku kembali mengantarkan pesanan yang ibu titipkan. Aku membuka dan membaca kertas yang ibu tuliskan alamatnya. Kubaca dengan pelan ternyata alamatnya sama dengan alamat yang aku kunjungi di hari minggu seminggu lalu.

“Hah, rumah Djanar lagi”. Aku kembali tersenyum dan bersemangat untuk mengantarkan pesanan itu.

Di perjalanan aku penasaran dengan isi jahitan itu. Aku berhenti sejenak dan membuka kantung yang membukus jahitan tersebut. Ternyata jahitan itu berisi seragam sekolah yang bertuliskan nama Djanar di name tag sebelah kanan, lalu logo dan nama sekolah SMA Pertiwi. Aku kembali tersenyum dan memasukan seragam tersebut kedalam kantung itu. Aku semakin bersemangat menuju rumah Djanar terlebih untuk bertemu kembali dengannya. Sesampainya disana aku merasakan degupan jantungku begitu kencang, entah mengapa. Aku lalu mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Dari dalam terdengar sahutan seorang perempuan lalu membuka pintunya.

“Oh jahitan ya nak?”. Tanya perempuan itu.
“I..iya bu”. Jawabku sambil agak lemas.
Setelah mendapatkan uang jahitan, aku kembali bergegas pulang ke rumah. Hari itu aku merasakan Badmood yang luar biasa.

Dalam bentangan tangga yang begitu panjang. Pasti pernah terpikir kapan anak tangga terkahir akan terjamah? Jawaban itu akan didapatkan saat kita terus berjalan sampai perasaan tidak ingin beranjak muncul karena keadaan yang baik ataupun buruk. 

Di taman ini aku kembali menerawang dalam sebuah canvas. Hingga saat coretan terakhirku hampir selesai sebuah bola sepak mengenai tinta yang kupegang terjatuh dalam coretanku yang belum usai. Seorang anak laki-laki sebaya denganku mengambil bola itu tanpa meminta maaf. Aku kesal dan berteriak.

“Heii.. kamu gak sopan ya, tanpa minta maaf seenaknya aja. Kembali kau kesini!”. Gerutuku kesal.
Anak itu tidak menghiraukan panggilanku dia terus saja berlari menuju sekumpulan anak-anak lainnya yang tengah bermain bola. Aku terus menggerutu sambil membereskan semua peralatan melukisku dan memasukannya kedalam tas. Aku hendak pulang kerumah saat itu. Tiba-tiba sebuah tangan menepuk pundaku dan berkata,

“Hei, maafkan temanku ya”.
Aku berbalik arah dan terkejut.
“Djanar” gumamku dalam hati.
“Aaa, o..oh iya, ga apa-apa.”
“Lain kali bilang ke dia kalau seperti itu lagi harus minta maaf apalagi sama orang lain”. Jawabku sambil kebingungan.
“Aaahh, baiklah terimakasih”. Jawab dia sambil kembali tersenyum.
“Tunggu” panggilku dengan spontan saat Djanar akan pergi.
“Emh, iya kenapa?”. Jawabnya.
“Emh, kamu yang waktu itu pesan jahitan ya?.
“Ini aku yang waktu itu mengantarkan jahitan kerumahmu”. Ucapku secara tidak sadar.
“Oh, benarkah?. Wah terimakasih yah”. Ucap dia sekali lagi sambil tesenyum manis.
“Emh, aku lihat kamu sering main di taman ini?”. Ucapku kembali bertanya dengan pertanyaan yang sebenarnya hanya membuang waktu.
“Wah, kenapa kamu tahu? Kamu sering main disini juga ya?”.
“Iya”. Jawabku singkat dengan sedikit senyuman terpaksa
“Kalau begitu kita main bareng aja ya kapan-kapan”.
“I..iya”. Jawabku sambil tersenyum dan mengangguk.
“Kalau begitu aku permisi dulu. Aku udah ditunggu sama teman-teman ku disana”.
“Oh iya silahkan”.

Hari yang melelahkan akan kita temukan saat kita sudah tidak mempunyai semangat. Semangat akan menghilang saat menjalani hari – hari tanpa adanya tujuan yang hendak kita kerjakan atau seseorang yang ingin kita jumpai. 

Setelah hari itu aku sering bertemu dengan Djanar dan bermain bersama bahkan dengan gadis kecil waktu itu ditaman. Kami sering bermain di hari Kamis, Jum’at, dan Minggu. Karena di hari lain aku tidak pernah melihat Djanar ditaman. Kupikir, dia mungkin sibuk dengan kegiatan sekolahnya. Hal itu tak apa buatku, saling berucap dengannya saja aku sudah senang. Tidak perlu untukku tahu apa yang ia kerjakan selain hari disaat kita bertemu.

Dalam setiap pertemuan dengan sang bunga. Tentunya akan ada perpisahan meski bunga harus layu ataupun meninggalkan duri dalam tangan kta. 

Tiga bulan setelah aku kenal Djanar aku baru tersadar dia tidak pernah bertanya siapa namaku, dan aku pun tidak pernah bertanya siapa nama gadis kecil yang selalu bermain bersama kami. Hingga pada hari dimana aku memutuskan untuk bertemu mereka dan mengatakan namaku pada Djanar kemudian bertanya siapa nama gadis itu. Seperti biasa di hari Jum’at setelah pulang sekolah aku menuju taman untuk menunggu mereka. Sembari menunggu mereka aku melakukan coretan pada kertas putihku. Aku menggambar bunga-bunga merah yang tampak indah. Hingga lukisanku selesai ternyata hari itu mereka tidak datang. Aku kecewa lalu bergegas pulang.

Dalam sebuah perjalanan dengan bayangan. Pernahkah berpikir kapan kita akan menginjak bayangan kita sendiri?. Jawabannya saat matahari berada tepat diatas kepalamu. 

Setelah minggu kemarin kami tidak lagi bermain bersama, aku terduduk di taman sambil memegangi kalung yang Djanar buatkan untukku dan untuk gadis itu. Aku ingat kata-katanya terakhir kali. “Saat manusia berjauhan dalam tempat, mereka pasti akan bertemu di massa depan. Paling tidak saat manusia sudah tidak bernapas, percayalah mereka akan bertemu kembali dengan orang yang ingin mereka temui”. Ya, kata-kata itu adalah ucapan terakhir yang ia katakan.

Mungkin rindu yang menjalar yang menjadikan manusia nekat. Dalam hidup manusia pasti terdapat sebuah dorongan untuk melakukan suatu hal yang jika dipikirkan dengan benar tidak perlu untuk dilakukan.

Sudah dua minggu aku tidak bertemu dengan mereka. Hari ini selepas pulang sekolah aku berniat untuk pergi kerumah Djanar untuk menanyakan kabarnya sebagai seorang teman yang kurindukan. Aku bergegas menuju rumahnya dengan penasaran yang sangat penuh dalam benakku. Sesampainya disana, tidak seperti biasanya aroma bau khas kopi yang aku cium saat kali pertama dan kedua aku mengunjungi rumahnya tidak sama sekali kurasakan keberadaannya. Aku mengetuk pintu dan mengucapkan salam. Sudah tiga kali aku mengucapkan salam tapi tidak ada jawaban, aku hampir putus asa. Hingga akhirnya ada seorang tetangga yang kebetulan lewat dan berkata padaku.

“Mau cari pak Joni ya dik?”.
“Saya mau ketemu Djanar bu”. Kataku
“Wah adik telat, sekitar seminggu yang lalu mereka pindah ke Sumatera. Pak Joni dipindah tugaskan dan semua keluarganya ikut”.
Aku terdiam terpaku dan pandanganku menunduk, sebentar.
“Oh gitu bu, terimakasih?” ucapku dengan perasaan kecewa.

Selepas dari sana, aku segera bergegas menuju rumah gadis kecil itu. Sesampainya ditempat yang kutuju, rumahnya tampak sepi hanya ada seorang satpam yang berjaga.
“Ehm, permisi pak, saya mau tanya. Orang yang tinggal di rumah ini apakah ada dirumah?”.
“Oh, pak Asrim? Satu jam yang lalu beliau berangkat ke Jakarta. Pak Asrim dipindah tugaskan jadi semua keluarganya ikut.
“Pak Asrim?” gumamku “.

Dalam jiwa yang terbaring. Napas yang masih berfungsi tak akan menghilangkan ingatan. Dalam jiwa yang terasa lelah. Alunan semangat akan sangat berguna. Meski terkungkung dalam jiwa yang kaku, napas yang tersengal. Semuanya akan indah jika kita percaya. Meskipun pada akhirnya tak akan ada sosok yang jelas dan tampak. 

Dalam sebuah ruangan yang serba putih terbaring sesosok perempuan tampak tengah tertidur dalam balutan perban di kepalanya, dengan impusan yang menempel ditangannya dan alat-alat kedokteran yang begitu banyak terpasang dibadannya. Setelah empat bulan tidak ada tanda-tanda dia akan hidup kembali sebuah getaran ditangannya menggerakan dan menstabilkan pengukur detak jantung disampingnya.

“Bu, dia bangun bu”. Teriak seorang lelaki yang sudah lama setia memegang tangan gadis itu dengan sabar.
“Benarkah Dan?” seorang ibu yang sudah separuh baya itu masuk bersama seorang laki – laki yang tampak sebagai suaminya  masuk ke ruangan itu.
“Nak, kamu sudah sadar? Alhamdulillah ya Allah” ucap ibu tersebut.

Dokterpun masuk ke ruangan dan memeriksa pasiennya.

“Pak Asrim ini sungguh sebuah keajaiban. Anak bapak bisa sadar dari koma akibat kecelakaan itu”. Ucap dokter.
“Alhamdulillah dok, terimakasih”. ucap laki-laki paruh baya itu.
“Sayang, ini aku Dani suamimu. Kamu masih mengenalku kan?”. Ucap laki-laki itu.

Badan yang terbaring lemah itu sedikit menganggukan kepalanya dan tersenyum.

“Alhamdulillah, syukurlah”.
Mereka semua tiada hentinya bersyukur.

Aku mengingat sesuatu yang mungkin nyata bagi ku tapi tidak untuk mereka. Tentang awal seorang gadis yang menangis karena seseorang laki-laki yang menjatuhkannya dan tidak mau minta maaf. Begitupun tentang seorang laki-laki bernama Djanar yang memang benar-benar ada di waktu itu dan yang aku rindukan. Aku menerawang kembali ditemani semilir angin dengan hembusan aroma bau khas kopi yang tidak asing bagiku. Mungkin Djanar ada ditempat yang sama denganku, tapi tidak untuk ku temui.

imagine by : Rahayu DH



Tidak ada komentar:

Posting Komentar